Minggu, 02 Juni 2013

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN

PENGERTIAN LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN
Landasan filsofis adalah dasar pemikiran yang mengkaji suatu obyek dengan pendekatan filsafat, yang berciri radikal, sistematis, dan universal, yang menurut Suriasumantri (1985:35) paling sedikit mencakup tiga persoalan pokok, yakni:
1.      Apa hakikat dari obyek itu (ontologis)
2.      Bagaimana obyek itu dapat dipahami (epistemologis)
3.      Apa tujuan/manfaat obyek itu dalam standar nilai (aksiologis)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pendidikan adalah asumsi filosofis dengan studi komprehensif, spekulatif, dan normatif yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek pendidikan.

PERANAN LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN
Landasan filosofis merupakan hal yang penting dalam membentuk pandangan yang tepat tentang pendidikan baik secara teoritis maupun praktis, karena pandangan tentang pendidikan mempengaruhi bagaimana kegiatan pendidikan diarahkan kepada titik sasaran tertentu, melalui kurikulum. Peranan landasan filosofis pendidikan adalah memberikan rambu-rambu apa dan bagaimana seharusnya pendidikan dilaksanakan. Rambu-rambu tersebut bertolak pada kaidah ontologi, epistemologi dan aksiologi pendidikan.

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DALAM ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI
A.    Permasalahan Pendidikan dalam Ontologi
Ontologi adalah bagian dari metafisika. Dalam filsafat, metafisika adalah studi tentang ada, dengan cabang-cabangnya ontologi, filsafat alam semesta (kosmologi), filsafat manusia, dan filsafat ketuhanan (theodice). Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu dalam arti membahas masalah hakekat dari sesuatu, tentang ada yang universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya (Lorens Bagus, 2000). Istilah ontologi banyak di gunakan ketika membahas ‘ada’ dalam konteks ilmu, di mana ontologi membahas pertanyaan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik (Bagus, 2000). Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metafisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Pendidikan dalam ontologi dipahami sebagai sesuatu yang ada sebagai suatu peristiwa kehidupan masyarakat, yang didalamnya menyangkut aspek-aspek komunikasi, materi, teknologi, nilai, dan perkembangan manusia itu sendiri. Sebagai ilmu, kajian bidang pendidikan tidak hanya tertuju pada aspek fisik manusia, tetapi juga yang menyangkut aspek rohani. Oleh karena itu, tinjauan ontologis dari pendidikan menyangkut aspek tujuan pendidikan yang tidak terlepas dari masalah antropologis (manusianya), tujuan hidupnya, perkembangannya, dan lingkungan kehidupannya di masa sekarang dan yang akan datang. Bidang kajian yang begitu banyak tentunya membutuhkan kajian yang lebih detail dengan pendekatan keilmuan yang lebih terorientasi pada obyek khusus, yang sifatnya membantu menjelaskan, memprediksi dan mengontrol tindakan-tindakan keilmuan, yang hasilnya dapat digeneralisasi dan menghasilkan teori tertentu tentang ilmu pendidikan. Kajian ontologis pendidikan, akan mempunyai implikasi terhadap kajian tentang tujuan pendidikan, sementara tujuan pendidikan memiliki berbagai implikasi terhadap masalah kehidupan.
Dengan demikian, kajian ontologis pendidikan merupakan wilayah kajian filosofis yang tidak bisa dipisahkan dari masalah realitas kehidupan di masyarakat.

B.     Permasalahan Pendidikan dalam Epistemologi
Epistemologi dikenal sebagai filsafat ilmu pengetahuan. Jujun S. Suriasumantri (1985), menjelaskan bahwa epistemologi atau teori pengetahuan, adalah suatu cabang filsafat yang membahas secara mendalam tentang segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Masalah epistemologis pendidikan berkaitan dengan isi pendidikan yang menjadi landasan pengetahuan dalam rangka membekali subyek didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif. Landasan epistemologis merupakan penjabaran dari landasan ontologis yang menjadi rujukan tujuan yang akan dicapai. Dengan demikian, masalah epistemologis pendidikan akan mempertanyakan bagaimana pendidikan dipahami sebagai sebuah ilmu dan apa saja yang layak (sebagai ilmu pengetahuan) diberikan kepada subyek didik? Untuk menjawabi masalah itu, berikut diuraikan apakah ilmu pengetahuan dan bagaimana pendidikan sebagai sebuah ilmu (ilmu pendidikan) dalam pandangan epistemologi.
Epistemologi mengartikan Ilmu sebagai pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan hasil pemikiran yang lainnya. Penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan metode keilmuan dikemukakan dengan perspektif yang berbeda dalam empat teori kebenaran menurut filsafat (Pidarta, 2009:77):
1). Teori korespondensi
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu : Pernyataan (statement), Persesuaian (agreemant), Situasi (situation), Kenyataan (realitas), Putusan (judgements).
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya Plato, Aristoteles dan Moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen. Cara berpikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya. Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2). Teori koherensi dan konsistensi
Teori ini menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisika rasional dan idealis. Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliable jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori konsistensi untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedangkan teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran.
3). Teori Pragmatis
Pragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth)/ menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan, dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan. Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1). Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2). Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3). Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
4). Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar. Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara ontalogis dan aksiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat super-rasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran Ilahi ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebanaran (kebenaran indera, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebenaran ini: Agama sebagai teori kebenaran Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengan integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
Kajian epistemologi ilmu tentang pendidikan, secara umum terbagi atas dua aliran besar:
a.       Paham rasionalisme, menyatakan bahwa ide tentang kebenaran sesungguhnya sudah ada pada pikiran manusia. Ide tersebut diperoleh lewat berpikir secara rasional, terlepas dari pengalaman manusia. Sistem pengetahuan dibangun secara koheren di atas landasan-landasan pernyataan yang sudah pasti. Permasalahannya, kebenaran yang diperoleh lewat berpikir dapat menimbulkan multi tafsir dan berbeda antara yang satu dengan lainnya dalam satu kajian kebenaran.
b.      Paham empirisme mengemukakan bahwa setiap obyek yang berbeda dapat menimbulkan pengetahuan yang berbeda. Menurut mereka pengetahuan ini tidak ada secara apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman, sehingga tidak timbul keraguan apa yang diketahui dan dapat diterima oleh orang lain. Jika pengetahuan yang benar hanya menurut anggapan masing-masing, maka kita terjebak pada solipisme, yaitu pengetahuan benar menurut sendiri. Empirisme, menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk mendapatkan pengetahuan.
Pada prinsipnya persoalan pendidikan dalam epistemologi berkaitan erat dengan apa fungsi dan kegunaan pendidikan bagi kita. Implikasi dari landasan epistemologis ini adalah bagaimana guru mengajarkan mata pelajaran yang selaras dengan prinsip kebenaran ilmiah dan upaya-upaya penemuan kebenaran yang berlandaskan metode ilmiah. Demikian pula landasan epistemologis memberi landasan penyusunan isi pendidikan yang selaras dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya.
Dengan prinsip dan cara kerja seperti yang telah diuraikan di atas, secara epistemologis terdapat beberapa pandangan terhadap konsep pendidikan, yaitu:
Pendidikan sebagai manifestasi
Pendidikan adalah suatu proses untuk mengaktualkan potensi yang tersembunyi dalam diri setiap anak.
Pendidikan sebagai akuisisi
Pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
Pendidikan sebagai transaksi
Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya.

C.    Permasalahan Pendidikan dalam Aksiologi
Implikasi dari landasan aksiologi terhadap pendidikan, memberi wawasan kepada pendidik/guru untuk dapat secara kreatif mencari makna dan nilai manfaat dari ilmu, serta metode dan strategi belajar yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran yang mendidik. Berkaitan dengan argumen tersebut, Ilmu pendidikan mempunyai nilai aksiologis bukan hanya pada tataran hasil pendidikan, tetapi tujuan maupun prosesnya telah menggambarkan nilai-nilai yang akan dicapai, nilai-nilai proses yang dilaluinya, serta hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan setelah melalui proses yang panjang dari kegiatan pendidikan adalah nilai keunggulan dari berkembangnya seluruh potensi dan derajat martabat kemanusiaan, dimana pendidikan adalah sebuah proses pemanusiaan manusia.
Berkaitan dengan praktek pendidikan, masalah aksiologis ini mempertanyakan bagaimana anak bertingkah laku sesuai dengan tujuan pendidikan, setelah mereka mempelajari pelajaran-pelajaran di sekolah. Indikator keberhasilan sekolah, bukan hanya berhubungan dengan aspek kognitif (intelektual) tetapi juga aspek kepribadian (personality).

Uraian di atas membawa kita kepada kesimpulan bahwa tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiologis terhadap pendidikan berimplikasi pada diperolehnya informasi tentang hakikat manusia (subyek didik), peranan perumusan tujuan pendidikan, hakikat isi program pendidikan yang selayaknya diberikan kepada anak didik, dan nila-inilai yang akan dicapai sebagai hasil pendidikan. Pemahaman guru terhadap tataran epistemologis dan aksiologis dari filsafat pendidikan yang menjadi dasar praktek pendidikan, akan memberikan dasar yang kuat terhadap nilai kebenaran ilmiah yang diajarkan dan nilai-nilai etika dan estetika yang tangguh dalam kehidupan masyarakat.

IMPLIKASI FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN
     A. Filsafat Pendidikan Idealisme dan Implikasinya dalam Pendidikan
Aliran idealisme berpendapat bahwa realitas terdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (selves) dan bukan benda material dan kekuatan (Harold H. Titus dkk.,1984:316) Realitas, bukanlah kesatuan antara dua unsur setara jasmani dan rohani atau materi dan ide. Segala sesuatu termasuk manusia pada hakikatnya terarah kepada kebaikan dan nilai yang baik dan suci.
Oleh kaum idealis dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan kesadaran, bukan dengan metode ilmu obyektif. Menurut idealisme, alam ini ada tujuannya, dan tujuan itu bersifat spiritual. Manusia menurut idealisme merupakan bagian dari proses alam, dan oleh karena itu bersifat natural dan spiritual, dalam arti bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak dapat hanya dianggap sebagai materi. Hakikat manusia tidak cukup hanya dipahami melalui interpretasi fisiologis dan mekanistis, tetapi harus dipahami melalui kemampuan akal pikirannya.
Pendidikan menurut idealisme adalah pembentukan karakter dan pengembangan bakat insani dan kebajikan sosial. Pendidikan hendaknya bertujuan mengembangkan kecerdasan, dengan melalui latihan berpikir dan mengenali tata hukum ilmu melalui ensiklopedia atau buku-buku besar tentang ilmu yang telah dicapai dalam kebudayaan. Idealisme mengakui nilai dan etika itu absolut. Kebaikan, kebenaran, dan keindahan itu tidak berubah dari generasi ke generasi lainnya. Nilai-nilai dan etika itu bukan buatan manusia, akan tetapi bagian dari hakikat alam itu sendiri. Nilai yang bertahan itu harus diajarkan kepada siswa dan bagaimana hidup berdasarkan nilai-nilai tersebut, karena siswa terikat oleh nilai-nilai spiritual yang lebih besar, yang kepada nilai-nilai itu dia terikat.
Plato yang dikenal sebagai bapak Idealisme mengatakan bahwa kehidupan yang baik itu hanya mungkin terjadi pada masyarakat yang baik. Sementara Hegel, pemikir lain yang berkiblat pada idealisme menyatakan bahwa individu menarik pemahamannya dan tindak kebajikannya dari tempat yang baik dimana dia menjadi bagian dari tempat itu. Kant, pun mengemukakan pendapatnya bahwa kita harus selalu bertindak seolah-olah tindakan kita secara individu harus menjadi hukum alam universal yang menyatu dengan manusia dalam lingkungan apapun  (Kneller, 1984)
Dengan demikian, aliran idealisme menempatkan derajat manusia dan pendidikan sebagai esensi yang sangat penting dalam kehidupan, sebab manakala pendidikan dilaksanakan dengan tidak tertib, maka tatanan kehidupan manusia akan kacau.

     B. Filsafat Pendidikan ekistensialisme dan implikasinya terhadap pendidikan
          1). Pandangan Eksistensialisme terhadap ontologi, epistemologi dan aksiologi
Power, yang dikutip Suyitno (2009) menguraikan tentang pandangan ontologis eksistensialisme, yaitu bahwa pengetahuan obyektif yang disistematikkan hanya dianggap sebagai hipotesa dan tidak pernah menjadi pengetahuan yang desesif (pasti). Tidak ada pandangan yang rasionalistik murni atau yang empiristik murni yang sanggup membantu manusia untuk menjadi autentik. Penyelidikan empiris (ilmiah), bertujuan menghilangkan sebanyak mungkin faktor subyektif. Pendekatan ilmiah men-depersonalisasikan individu dan menghilangkan sifat keunikan individu.
Epistemologi kaum eksistensialisme mengasumsikan bahwa individu dapat bertanggung jawab terhadap pengetahuannya. Pengetahuan adalah intuitif. Sumber pengetahuan dan penyusunannya dalam kesadaran, dan perasaan individu adalah hasil dari pengalamannya dan pantulan-pantulan yang dia terima dari perjalanan hidup. Validitas dari pengetahuannya ditentukan oleh nilainya bagi individu. Pandangan epitemologi ini berpengaruh terhadap pengajaran. Implikasi yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa mata pelajaran sekolah tidak hanya alat untuk perwujudan dari subyektivitas, tetapi sebagai usaha mencari arti hidup. Pandangan aksiologi eksistensialisme terhadap pendidikan, menyatakan bahwa nilai-nilai bukanlah suatu hal yang terpisah dari pilihan yang bebas dari manusia untuk berbuat. Perbuatan tidak harus diramalkan dengan konsepsi-konsepsi, dia tidak dapat memilih nilai yang jahat, dia harus memilik yang baik, karena pilihannya itu didasarkan kepada nilai-nilai yang baik. Baik, bagi para eksistensialis adalah selalu dalam pernyataan positif tentang diri. Jahat, melekat pada gerombolan manuisa. Bagaimanapun juga, pilihan bebas dari suatu perbuatan, melibatkan tanggung jawab pribadi. Dengan demikian guru haruslah mengarahkan murid-muridnya untuk menyadari implikasi-implikasi dari keputusan-keputusannya. Murid janganlah dibutakan dari akibat-akibat dari pilihannya. Murid harus juga menyadari akan akibat-akibat pilihannya. Murid juga harus menyadari akan frustrasi dan kesunyian yang mendalam. Dia juga harus menanamkan keyakinan akan dirinya, dan hal ini adalah kunci dari karakter.

2).      Pandangan Eksistensialisme tentang Pendidikan
Konsep pendidikan menurut eksistensialisme adalah pengembangan daya kreatif dalam diri anak-anak, bukan saja sebagai pribadi atau individu, tetapi anak adalah suatu realitas. Dengan demikian, pendidikan adalah sama dengan realitas itu sendiri. Setiap anak dilahirkan dengan sifat-sifat bawaan, yaitu yang diwariskan dari khasanah seluruh ras manusia. Oleh karena itu, setiap anak dilahirkan dengan ciri khas, namun masih harus dikembangkan, yang merupakan suatu realitas besar. Apa arti perkembangan daya kreatif? Artinya adalah panggilan illahi bagi kehidupan yang bersembunyi dalam ketiadaan. Selanjutnya, Power (dalam Suyitno, 2009) menjelaskan, bahwa pendidikan menurut eksistensialisme mempunyai dua tugas utama, yaitu pemenuhan tujuan-tujuan personal dan mengembangkan rasa kebebasan dan rasa tanggung jawab. Dalam pemenuhan tujuan-tujuan personal, sekolah harus berusaha memperkenalkan siswa kepada kehidupan. Mata pelajaran-mata pelajaran yang ada di sekolah hanyalah sebagai sarana untuk realisasi dari subyektivitas. Dalam realisasi ini dibutuhkan pula mengadopsi seperangkat nilai, yaitu suatu kaidah tingkahlaku yang sesuai dengan kehidupan personal. Nilai dapat bersumber dari pengalaman  murni, atau dari warisan leluhur, atau bersumber dari hukum alam atau hukum supernatural. Dalam mengembangkan kebebasan dan rasa tanggung jawab, pendidikan memberikan kebebasan pada seseorang yang dalam posisi moralnya mampu memilih suatu nilai yang baik untuk dirinya dan baik untuk orang lain. Pendidikan yang baik ialah mempersiapkan seseorang agar memiliki kebebasan, dan pada saat yang sama menghargai kebebasan semua orang lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, guru berfungsi sebagai penyampai misi kebebasan dan tanggung jawab lebih dari sekedar pengajar mata pelajaran-mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Dengan demikian kurikulum dirancang untuk menghasilkan manusia bebas bukan manusia budak.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pandangan eksistensialisme tentang pendidikan adalah suatu proses pengembangan daya kreatif dari anak sesuai dengan realitas kehidupannya. Pendidikan menurut eksistensialisme mempunyai dua tugas utama, yaitu pemenuhan tujuan-tujuan personal dan mengembangkan rasa kebebasan dan rasa tanggung jawab.
 C.  Filsafat Pendidikan Pancasila dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Nasional
Di Indonesia, Pancasila merupakan falsafah negara dan pandangan hidup bangsa, dan oleh karena itu seharusnya menjadi bahan kajian dasar yang seksama, agar mendapatkan gambaran jelas mengenai manusia Indonesia serta tujuan hidup yang berlaku, yang keduanya merupakan landasan pemikiran bagi pendidikan di Indonesia.

          a). Hakikat Manusia dan Pendidikan Menurut Pancasila
Amanat dari Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “ Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka.....” Amanat ini memberikan inspirasi bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai yang luhur dalam menempatkan kepentingan umat baik melalui peningkatan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ketertiban dunia. Nilai kesejahteraan, kecerdasan dan ketertiban, merupakan cita-cita yang perlu dikembangkan melalui proses yang kompleks yang mempunyai kaitan erat antara satu aspek dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Pandangan ini memberi makna, bahwa segala permasalahan yang menyangkut aspek dunia perlu dipecahkan melalui perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan aspek kesejahteraan, kecerdasan dan ketertiban yang juga mengandung makna rohaniah (batiniah) dipecahkan bukan hanya dengan ilmu dan teknologi, tetapi juga dengan pendekatan filsafiah dan agama. Untuk mencapai derajat manusia yang berkualitas tersebut, pendidikan adalah wahana yang dapat mengantarkan dan membimbing manusia ke tingkat martabat manusiawi.
Manusia, menurut pandangan Pancasila adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, makhluk individual dan sekaligus sosial, dan dari ketiga potensi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai subtansi manusia Indonesia dari wujud jasmani dan rohaninya. Pancasila menghargai terhadap nilai-nilai dan hak-hak pribadi (individual), selama nilai-nilai tadi tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau negara. Pancasila juga tidak mengutamakan nilai-nilai masyarakat atau golongan, apabila nilai-nilai itu bertentangan dengan nilai-nilai martabat kemanusiaan secara hakiki maupun secara yuridis. Pancasila lebih mendukung terhadap nilai-nilai individual yang memberikan kebaikan bagi kehidupan bermasyarakat, dan nilai-nilai kemasyarakatan yang mendukung terhadap perbaikan nilai/mutu kehidupan para anggotanya dan masyarakat sebagai kesatuan. Dengan demikian, manusia tidak terbayangkan jika tanpa lingkungan dan pendidikan. Hal ini mengandung makna, bahwa manusia yang hidup dengan manusia lain tidak selalu meningkatkan harkat dan martabat kemanusiawiannya, apabila tanpa dibarengi dengan pendidikan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa keutamaan manusia hanya bisa dikembangkan melalui pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan profesional.
Uraian tersebut memberikan pemahaman kepada kita, bahwa titik tolak untuk melaksanakan pendidikan adalah memahami terhadap konsep hakikat manusia dan usaha-usaha pemberian bantuannya dengan kerjasama dalam mencapai tujuan pendidikan. Demikian pula, Soelaeman (1988; 45) menjelaskan tentang pentingnya pemahaman terhadap hakikat pendidikan, bahwa Pancasila mengakui manusia sejak lahir sampai meninggal dunia memerlukan bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Manusia sebagai makhluk berperasaan, memerlukan tanggapan emosional dari orang lain, memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, dan pengakuan untuk pergaulan dan kesejahteraan hidup yang sehat. Makna yang terkandung dalam penjelasan tersebut, adalah bahwa untuk mengembangkan manusia Indonesia ke derajat yang lebih unggul diperlukan pendidikan yang berbasis pada pemahaman hakikat manusia yang memiliki potensi-potensi psikologis, sosiologis, kultural, biologis, dan potensi-potensi lainnya. Konsep hakikat pendidikan Pancasila, sebagaimana Soelaeman (1988), menyatakan bahwa: Pancasila menampilkan pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah kesatuan pribadi yang memiliki dimensi individual dan sekaligus sosial. Oleh karena itu, pembentukan kepribadiannya harus terjadi dengan merealisasikan kedua dimensi itu secara integral dan seimbang. Pengembangan pribadi hanya terjadi dengan baik sejauh dilakukan dalam konteks kemasyarakatannya, sedangkan masyarakat hanya akan bermakna dan meningkat kualitasnya sejauh mampu mendukung proses pendewasaan pribadi-pribadi warganya.
Konsep tersebut, secara tegas memandang manusia sebagai kesatuan yang utuh antara berbagai aspek yang ada pada diri manusia, baik antara dimensi individual dan sosial, maupun antara dimensi jasmanian dan kejiwaan serta kerohanian. Apabila manusia itu dipandang dari aspek fisiknya belaka, maka manusia hanya dianggap sebagai mesin belaka, sehingga menggerakkkan dan menghidupkan manusia tidak ada ubahnya dengan menggerakkan dan menghidupkan mesin. Maka gerak dan hidup manusia akan tunduk pada hukum yang sifatnya mekanistik, seperti mesin, yang penting mesin itu dapat berfungsi, sedangkan yang merupakan tujuan dari segala gerak berada di luar jangkauan mesin. Dengan perkataan lain, dari manusia yang hidup dan bergerak seperti mesin itu tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat bersifat aktif dan kreatif serta bertanggung jawab, tidak dapat dari padanya “menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa”. Apabila pandangan yang menganggap bahwa manusia hidup secara mekanistis dapat dikendalikan segalanya oleh kekuatan atau otoritas, apakah manusia yang demikian dapat dipertinggi budi pekertinya dan diperkuat kepribadiannya? Oleh karena itu, Pancasila mengakui hakikat manusia tidak dilihat dari aspek raganya belaka, namun raga/badan manusia yang hidup mencakup aspek jiwani, merupakan realisasi kejiwaan. Hal ini dapat kita lihat bagaimana orang gembira, akan memancarkan sinar di wajah yang berseri-seri atau meneteskan air mata karena bahagia, atau tertawa gembira atau dengan sujud syukur yang tercermin dari gerak dan laku badan.
Dengan demikian, pandangan Pancasila terhadap hakikat manusia yang didasarkan pada keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, membuka perspektif yang jauh terhadap pandangan tentang hakikat manusia (antropologis) serta memiliki dampaknya terhadap pengertian serta pelaksanaan pendidikan. Permasalahannya adalah belum semua guru memahami bagaimana bertindak pedagogis yang sesuai dengan pandangan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Pemahaman terhadap hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, mengimplikasikan pandangan bahwa manusia memiliki kekuatan dan potensi yang jika dididik dengan benar, maka ia akan memiliki roh ilahiah yang mempunyai kecenderungan selalu ingin berbuat baik dan benar. Tetapi disisi lain, manusia memiliki raga yang selalu berkorespondensi dengan dunia empirik yang memiliki kecenderungan bertindak faktual, operasional, dan pragmatik. Terlebih manusia memiliki dorongan-dorongan emosional, dan instinktif, yang memungkinkan manusia cenderung ingin memuaskan hawa nafsunya.
Dorongan-dorongan ini perlu diarahkan ke perbuatan-perbuatan yang lebih rasional, positif, dan etis. Upaya ini merupakan perbuatan pendidikan yang pada satu sisi membimbing ke jalan tujuan hidup setelah kehidupan di dunia, dan mengarahkan dan melatih dorongan-dorongan untuk menjadi kegiatan-kegiatan yang rasional, positif dan berdaya guna bagi kehidupannya. Rumusan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak sekedar menjadi rumusan yang tanpa arti apapun, sehingga kurikulum tidak mampu membunyikan apa tujuan yang ingin dicapai setelah anak menyelesaikan pendidikan formalnya. Oleh karena itu, diperlukan rumusan yang tegas tentang hakikat manusia menurut Pancasila dengan penjabarannya secara rinci, untuk dapat disusun rumusan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Hasil rumusan ini akan memberikan penafsiran tentang konsepsi pendidikan yang berbasis pada landasan filsafat Pancasila.
Pendidikan, dikonsepsikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UURI, No. 20/2003, Pasal 1 ayat 1, hal, 2). Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat 2 (UURI, No. 20/2003), dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional

    b). Pancasila dan Aplikasinya dalam Pendidikan
  •       Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20/ 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan penjabaran dari landasan ideal dan konstitusional, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai dari Pancasila sebagai hasil pemikiran kritis, komprehensif dan kontemplatif, serta pengalaman sejarah yang penting, mempunyai nilai yang tidak hanya bersifat universal dari masing-masing silanya, tetapi juga mempunyai makna integral yang lebih dalam bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dari Pancasila, secara integral memberi makna, arah dan tujuan pendidikan bangsa Indonesia yang isinya mencakup; ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Secara keseluruhan, tujuan pendidikan ingin mencapai taraf kualitas manusia seutuhnya. Maksud manusia seutuhnya, memiliki cakupan kualitas material dan spiritual, jasmani, mental, sosial dan rohani, yang dikembangkan secara selaras, serasi dan seimbang.
Tujuan pendidikan yang dijabarkan dari Pancasila dan UUD 1945, dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003, pada Bab II pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan tersebut secara essensial dimanifestasikan dalam segala bentuk tujuan pendidikan, baik tujuan pendidikan institusional (kelembagaan), tujuan pendidikan kurikuler (kurikulum untuk jenjang dan jenis pendidikan) dan tujuan pendidikan pembelajaran (instruksional di sekolah/di kelas).
Tujuan pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Tujuan Pendidikan institusional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan peserta didik, sesuai dengan jenis pendidikan yang dialaminya. Jenis pendidikan ada tiga jalur, yaitu jalur pendidikan informal, jalur nonformal dan jalurpendidikan sekolah. Jalur pendidikan sekolah mempunyai jenis-jenis pendidikan: umum, kejuruan, luar biasa, kedinasan., keagamaan, akademik, dan pendidikan professional. Jalur Pendidikan nonformal, mempunyai jenis-jenis pendidikan; Kursus, pendidikan masyarakat, pendidikan politik, pendidikan keorganisasian, dan lain - lain.
Tujuan pendidikan kurikuler mempunyai fungsi mengembangkan kemampuan akademik dan keterampilan professional/vokasional dari jenjang dan jenis pendidikan yang ditempuhnya. Rumusan lain dari tujuan pendidikan kurikuler adalah tujuan yang ingin dicapai oleh peserta didik melalui penguasaan baik secara akademik maupun profesional dari satuan kurikulum yang dibebankan.
Tujuan instruksional (tujuan pembelajaran) adalah tujuan yang akan dicapai setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Tujuan ini erat kaitannya dengan proses perubahan tingkah laku, khususnya perubahan kognitif yang secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan tujuan pembelajaran yang direncanakan (instructional effect) maupun perubahan tingkah laku peserta didik sebagai akibat tidak langsung dari pembelajaran yang direncanakan (nurturance effect).
Dengan demikian, hakikat pendidikan menurut konsep filsafat pendidikan Pancasila adalah proses pengembangan potensi kemanusiaan untuk meningkatkan derajat martabat manusia ke arah yang lebih tinggi. Adapun potensi-potensi kemanusiaan mencakup potensi biologis, fisis, psikologis, sosiologis, antropologis, dan teologis. Potensi-potensi tersebut dikembangkan melalui pendidikan, sehingga potensi-potensi tersebut berkembang ke arah kehidupan manusia yang bermartabat.
  
  • Peranan Pendidik dan Peserta Didik.
 Peranan Pendidik
Peranan pendidik berkaitan erat dengan bentuk/pola tingkah laku guru (pendidik) yang diharapkan dapat dilakukan oleh guru/pendidik. Ada tiga pola tingkah laku guru yang diharapkan yaitu:(a) Ing ngarso sung tulada (b) Ing madya mangun karsa (c) Tut wuri handayani.
Ing ngarso sung tulada mempunyai makna tidak sekedar bahwa guru harus memberi contoh apabila ada di depan, tetapi lebih dalam dari pengertian tersebut, adalah sebagai pemimpin, yaitu mampu menjadi suri tauladan, patut digugu dan ditiru, memiliki kemampuan dan kepribadian yang utuh dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Seorang pendidik/guru mampu mengambil keputusan yang adil dan dirasakan keadilannya oleh semua pihak, mampu memberi kepercayaan yang melahirkan kewibawaan pendidik, mampu memahami perbedaan individual anak, sehingga dapat melahirkan kasih sayang dan hubungan interpersonal yang kukuh antara pendidik dan anak didik.
Ing madya mangun karsa, mempunyai arti bila guru ada di antara atau bersama-sama siswa ia hendaknya berpartisipasi aktif secara konstruktif. Mangun karsa tidak hanya berarti membangun kehendak, tetapi guru lebih berperan sebagai mitra kerja dalam mencapai tujuan. Guru mampumenempatkan diri sebagai anggota grup belajar, dan ia mungkin dapat lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencipta dan mengembangkan sendiri hasil studinya.
Tut wuri handayani, mempunyai arti dari belakang guru berperan sebagai tenaga pendorong yang memberi kekuatan kepada siswa dalam mecapai tujuan. Guru bukan hanya sebagai motivator, tetapi juga sebagai fasilitator, supervisor, dan moderator. Sebagai motivator, guru/pendidik memberikan dorongan yang memungkinkan anak tambah semangat dan senang dalam belajar. Sebagai fasilitator, guru/pendidik berperan sebagai orang yang menyediakan kemudahan atau memfasilitasi terjadinya aktivitas belajar, dan menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif terhadap anak dalam kegiatan belajar. Sebagai moderator, guru/pendidik berperan sebagai pengatur lalu lintas yang memudahkan anak belajar, anak tahu arah kemana tujuan yang akan dicapai.
  Peranan Peserta Didik
Mengacu pada prinsip-prinsip di atas, menunjukkan bahwa pendidikan nasional lebih berorientasi pada pengembangan potensi anak yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Demikian pula, pendidikan nasional diselenggarakan dalam rangka proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dengan demikian, peranan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam kegiatan pendidikan, adalah sebagai seorang pelajar yang secara bebas dapat mengembangkan potensinya dan mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat, melalui aktivitasaktivitas program pendidikan di sekolahnya.
Peranan-peranan anak sebagai peserta didik di sekolah akan mendukung terhadap pencapaian tujuan pendidikan secara efektif, apabila peranan tersebut diperkenalkan dan diberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan sendiri sebagai proses pendidikan kemandirian, menciptakan kreativitas, belajar hidup berdemokrasi, dan proses belajar bertanggung jawab. Masih banyak pendidikan sekolah (khususnya dari pendidikan dasar sampai menengah) yang belum memberikan peluang yang lebih luas kepada anak untuk melakukan peranan peranannya sebagai seorang yang akan dewasa, dan sebagai calon anggota masyarakat atau warga negara yang bertanggung jawab. Hal ini hanya mungkin dilakukan, apabila para pendidik atau guru memahami hakikat upaya pendidikan yang mereka lakukan dan memahami hakikat manusia yang dihadapinya. Permasalahan tersebut mengimplikasikan perlunya pendidikan prajabatan guru yang berorientasi pada pendidikan yang berbasis kemanusiaan, kebudayaan, dan agama dengan semangat keintelektualan dan profesionalisme kependidikan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filsafat pendidikan Pancasila merupakan azas pendidikan nasional yang menjadi basis pendidikan tenaga kependidikan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap aspek ontologi, epistemologi, antropologi, dan aksiologi Pancasila bagi mahasiswa kependidikan merupakan kewajiban yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap wawasan teoritik dan praktek pendidikan di sekolah atau di luar sekolah kelak.

 
DAFTAR RUJUKAN: 
Ali Saifullah. 1993. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Gramedia: Jakarta
Barnabid, Imam. 1987. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta: IKIP
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Kanisius.
Kneller, George F. 1989. Antropologi Pendididikan. (terj. Imran Manan) Jakarta: Depdikbud
Muchtar, O. 1976. Pendidikan Nasional Indonesia, Pengertian dan Sejarah Perkembangan. Bandung: Balai Penelitian IKIP Bandung.
Pidarta, made. 2009. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2009. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Titus, Harold dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Bulan Bintang: Jakarta
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jaringan dokumentasi dan Informasi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (online), (http://www.jdih.bpk.go.id) Diakses 27 April 2012.
Soelaeman, M.I., 1988. Suatu, Telaah tentang Manusia-Religi.Pendidikan, Jakarta:Depdikbud.

Suriasumantri, Jujun S. 1985.  Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar.  Jakarta: Sinar Harapan.
Suyitno, Y. 2009. Landasan Filosofis Pendidikan. Yogyakarta: UNY



1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa | Dr. MD
    Borgata Hotel 평택 출장안마 Casino 오산 출장샵 & Spa, located 영주 출장마사지 in the Marina District, features spacious hotel rooms with sweeping living rooms, a casino, ‎Hotel and 김천 출장마사지 Dining · ‎About the Spa · ‎Hotel · ‎Dining 세종특별자치 출장마사지

    BalasHapus